Sampai saat ini perdebatan apakah Perlu Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK Hasil Revisi atau tidak tetap berlangsung, walupun berangsur-angsur sudah mulai reda. Diluar pertanyaan apakah bisa Perppu digunakan sebagai instrumen peraturan untuk membatalkan Undang-undang, mengingat kedudukan Perppu hanyalah “Peraturan Pemerintah”, ada hal lain yang menurut saya harus diwaspadai oleh Presiden, yaitu jebakan pelanggaran terhadap konstitusi negara, dan akan membahayakan Presiden sendiri.
Perppu memang dari zaman ke zaman menjadi momok tersendiri bagi praktetk ketatanegaraan di Indonesia, karena diterbitkan atau tidaknya Perppu saat ini dianggap merupakan hak prerogratif Presiden semata. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya parameter yang jelas tentang syarat penerbitan Perppu. Dasar hukum penerbitan Perppu diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22, yang berbunyi:
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Sayangnya UUD kita tidak memberikan penjelasan atau batasan yang detail tentang apa itu kegentingan yang memaksa. Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, berpendapat ada tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yaitu:
1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Saya berpendapat, jika kita lihat 3 kriteria kegentingan yang memaksa berdasarkan Putusan MK tersebut di atas, maka saat ini kriteria tersebut tidak terpenuhi untuk menjadi dasar bagi Presiden mengeluarkan Perppu yang membatalkan UU KPK hasil revisi. Jika kita melihat desakan-desakan dari berbagai Pihak yang ingin Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan adalah alasan No.1 yaitu adanya kebutuhan yang mendesak karena adanya desakan dari masyarakat melalui demo-demo yang rusuh beberapa hari kemarin.
Jika kita mau berpikir logis, jika setiap kali terjadi demo penolakan terhadap suatu UU, lalu demo-demo tersebut dijadikan alasan “kegentingan yang memaksa” dan harus diterbitkan Perppu, maka kebiasaan ketetangeraan yang macam apa yang akan kita bangun?? Apalagi jika dasar menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan (in casu Perppu) adalah berdasarkan demo-demo yang rusuh yang bahkan banyak peserta demonya saja tidak memahami apa yang mereka suarakan dalam demo tersebut.
Padahal untuk menerbitkan suatu Peraturan Perundang-undangan setidaknya harus memperteimbangkan :
a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Jadi marilah kita jaga marwah ketatanegaraan kita dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan sesuai pertimbangan dan berdasarkan 3 unsur di atas, bukan cuma berdasarkan desakan sebagian kecil masyarakat melalui demo-demo yang rusuh saja, agar tidak merusak ketatanegaraan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar