Selasa, 18 Januari 2011

TIME VALUE OF MONEY

Pada waktu mengisi salah satu sesi di BSI Entrepreneur Camp, ada salah satu peserta yang bertanya kira-kira seperti ini “Saya berbisnis pakaian, bagaimana cara menghabiskan stok pakaian yang sudah ketinggalam trend???”. Menurut saya ada dua hal yang harus dilakukan, cara pertama adalah simpan aja stock pakaian yang tersisa, toh model pakaian itu hanya berputar saja, beberapa waktu kemudian model yang sudah tidak ngetrend lagi pasti akan ngetrend lagi, jualah pada saat mode itu kembali ngetrend. Tapi melakukan cara ini ada resikonya, yaitu kita menahan barang, kalo barang ketahan, gak ada cash flow masuk, jadi ada cash flow yang tidak bisa berputar, makanya harus dipastikan jika kita melakukan cara ini tidak akan menganggu cash flow usaha kita.

Cara yang kedua adalah menjual seharga kita kulakan bahkan dibawah harga kulakan juga tidak apa-apa asal barang tersebut bisa jadi uang. Lho khan rugi?? Menurut saya tidak, jika kita cermat berhitung. Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut:

Jika kita belanja pakaian 100 potong misalnya, harga kulakan adalah 50 ribu, lalu kita jual lagi seharag 80 ribu, maka tiap potong kita untung 30 ribu. Pada saat pakaian tersebut sedang mode kita bisa menjual 75 potong artinya kita untung 30 ribu kali 75 atau total Rp.2.250.000,-. Stok tersisa 25 potong dan tiba-tiba pakaian tersebut sudah tidak ngetrend sehingga sulit laku di harga 80 ribu. Menurut saya kalo saat sudah tidak ngetrend ada yang mau beli, jual aja di harga 50 ribu atau bahkan 40 ribu, tapi rugi 10 ribu/pcs, benar bahkan 250 ribu karena 10 ribu kali 25 pcs.

Tapi sebenarnya rugi gak sich?? Menurut saya tidak rugi. Kok bisa?? Yang pertama kita harus ingat di awal dari penjualan yang 75 pcs kita sudah untung Rp.2.250.000, jadi kalo di total kita masih untung 2 juta khan. Yang kedua, dari hasil penjualan 25 pcs pakaian sisa kita akan mendapatkan uang 25 kali 40 ribu atau 1 juta. Uang satu juta tersebut, kita bisa putarkan lagi dan insya Allah akan memberikan keuntungan melebihi kerugian yang 250 ribu tersebut. Jika dengan perputaran usaha dengan modal 1 juta tiap bulan kita bisa untung 200 ribu aja, maka setahun bisa untung 2,4 juta. Bayangkan jika kita pakai cara yang pertama, kita tahan pakaian sampai ngetrend lagi.. maka kerugian kita justru akan berlipat, keuntungan yang 2,4 juta tidak akan kita dapatkan. Belum lagi kalo ngetrendnya 2 tahun lagi, berapa kerugian yang harus kita tanggung...

Itulah yang disebut Time Value of Money. Nilai uang tergantung kapan kita menggunakan uang tersebut. Cara tersebut saya dapatkan saat membantu BPPN melakukan restrukturisasi hutang pada zaman-zaman krisis moneter dulu. Banyak kredit yang macet mencapai ratusan milyar bahkan trilyunan. Salah satu ilustrasi penyelesaian kredit macet waktu itu adalah, ada satu perusahaan yang kredit macetnya sampai 500 milyar, terdiri dari hutang pokok 300 milyar, bunga tertunggak 100 milyar denda dan penalti 100 milyar. Saat pembicaraan penyelesaian kredit macet tersebut sang dibeitur bilang, saya kalo harus membayar 500 milyar tidak bisa saat ini, kalopun bisa yha harus dicicil 15-20 tahun. Tapi kalo Bank mau saya hanya bayar pokoknya saja, minggu depan saya lunasi. Tanpa di duga Banknya mau, bahkan dibelakang layar dia bilang, sebenarnya kalo dia bayar cuma 200 milyar saja, bank juga mau.

Pada waktu mengisi salah satu sesi di BSI Entrepreneur Camp, ada salah satu peserta yang bertanya kira-kira seperti ini “Saya berbisnis pakaian, bagaimana cara menghabiskan stok pakaian yang sudah ketinggalam trend???”. Menurut saya ada dua hal yang harus dilakukan, cara pertama adalah simpan aja stock pakaian yang tersisa, toh model pakaian itu hanya berputar saja, beberapa waktu kemudian model yang sudah tidak ngetrend lagi pasti akan ngetrend lagi, jualah pada saat mode itu kembali ngetrend. Tapi melakukan cara ini ada resikonya, yaitu kita menahan barang, kalo barang ketahan, gak ada cash flow masuk, jadi ada cash flow yang tidak bisa berputar, makanya harus dipastikan jika kita melakukan cara ini tidak akan menganggu cash flow usaha kita.

Cara yang kedua adalah menjual seharga kita kulakan bahkan dibawah harga kulakan juga tidak apa-apa asal barang tersebut bisa jadi uang. Lho khan rugi?? Menurut saya tidak, jika kita cermat berhitung. Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut:

Jika kita belanja pakaian 100 potong misalnya, harga kulakan adalah 50 ribu, lalu kita jual lagi seharag 80 ribu, maka tiap potong kita untung 30 ribu. Pada saat pakaian tersebut sedang mode kita bisa menjual 75 potong artinya kita untung 30 ribu kali 75 atau total Rp.2.250.000,-. Stok tersisa 25 potong dan tiba-tiba pakaian tersebut sudah tidak ngetrend sehingga sulit laku di harga 80 ribu. Menurut saya kalo saat sudah tidak ngetrend ada yang mau beli, jual aja di harga 50 ribu atau bahkan 40 ribu, tapi rugi 10 ribu/pcs, benar bahkan 250 ribu karena 10 ribu kali 25 pcs.

Tapi sebenarnya rugi gak sich?? Menurut saya tidak rugi. Kok bisa?? Yang pertama kita harus ingat di awal dari penjualan yang 75 pcs kita sudah untung Rp.2.250.000, jadi kalo di total kita masih untung 2 juta khan. Yang kedua, dari hasil penjualan 25 pcs pakaian sisa kita akan mendapatkan uang 25 kali 40 ribu atau 1 juta. Uang satu juta tersebut, kita bisa putarkan lagi dan insya Allah akan memberikan keuntungan melebihi kerugian yang 250 ribu tersebut. Jika dengan perputaran usaha dengan modal 1 juta tiap bulan kita bisa untung 200 ribu aja, maka setahun bisa untung 2,4 juta. Bayangkan jika kita pakai cara yang pertama, kita tahan pakaian sampai ngetrend lagi.. maka kerugian kita justru akan berlipat, keuntungan yang 2,4 juta tidak akan kita dapatkan. Belum lagi kalo ngetrendnya 2 tahun lagi, berapa kerugian yang harus kita tanggung...

Itulah yang disebut Time Value of Money. Nilai uang tergantung kapan kita menggunakan uang tersebut. Cara tersebut saya dapatkan saat membantu BPPN melakukan restrukturisasi hutang pada zaman-zaman krisis moneter dulu. Banyak kredit yang macet mencapai ratusan milyar bahkan trilyunan. Salah satu ilustrasi penyelesaian kredit macet waktu itu adalah, ada satu perusahaan yang kredit macetnya sampai 500 milyar, terdiri dari hutang pokok 300 milyar, bunga tertunggak 100 milyar denda dan penalti 100 milyar. Saat pembicaraan penyelesaian kredit macet tersebut sang dibeitur bilang, saya kalo harus membayar 500 milyar tidak bisa saat ini, kalopun bisa yha harus dicicil 15-20 tahun. Tapi kalo Bank mau saya hanya bayar pokoknya saja, minggu depan saya lunasi. Tanpa di duga Banknya mau, bahkan dibelakang layar dia bilang, sebenarnya kalo dia bayar cuma 200 milyar saja, bank juga mau.

Saya jadi bertanya apa gak rugi?? Orang bank tersebut menjawab Nilai uang itu tergantung waktunya [time value of money]. Lebih lanjuta dia menjelaskan, bayangkan kalo dia walaupun membayar penuh 500 milyar harus mencicil selama 15 – 20 tahun seperti mau dia, kita justru rugi. Yang pertama masih ada resiko macet lagi, gak ada jaminan cicilan akan lancar. Kalo dia kasih 300 milyar tapi cash, uang tersebut masih dapat kita putar lagi untuk memberikan kredit kepada debitar yang baik kemmapuan bayarnya. Keuntungannya silahkan hitung sendiri, jika bunga kredit 12% setahun dalam 15-20 tahun kita akan mendapatkan untung lebih dari 500 milyar, dari debitur yang baik tersebut.

Jadi jangan takut untuk mensual rugi stok yang ada di kita selama hitungan secara keseluruhan masih mendatangakn keuntungan seperti ilustrasi pertama saya tentang pakaian yang sudah tidak ngetrend. Lebih baik pegang cash untuk kita putarkan lagi untuk mendapatkan keuntungan dari pada pegang barang/produk yang susah lakunya.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 02 Januari 2011

GDP USD3000 VS Pemerataan Pendapatan dan Kemampuan Belanja (Sisi Lain)

Pembicaraan GDP USD3000 sedang hangat-hangatnya menjadi pembicaraan tahun 2011. Karena katanya dengan GDP USD3000 berarti Indonesia sedang menuju tahapan seperti China atau Korea saat mulai menuju kemakmuran ekonomi seperti saat ini. Bahkan di TDA GDP USD3000 ini juga menjadi pembicaraahn hangat untuk menentukan strategi pemasaran produk di tahun 2011 ini.

Sebenarnya makhluk apa GDP itu?? Dikutip dari www.belajarforex.com, GDP suatu negara dapat didefinisikan sebagai total nilai penjualan barang dan jasa suatu negara dalam setahun. Jadi dalam skala yang lebih kecil, misalnya sebuah toko handphone, maka GDP dari toko handphone tersebut adalah omset total nilai penjualan handphone (barang) dan servis handphone (jasa) dalam setahun. Nah kalau dalam skala 'Negara' maka produk berarti semua barang yang dijual / dihasilkan di negara tersebut, dari minyak mentah, kelapa sawit, kopra, bahan mentah, bahan setengah jadi, sepatu, alat pancing, pesawat terbang sampai tusuk gigi. Sedangkan untuk jasa, mencakup dari jasa servis mobil, pijat refleksi di salon kecantikan, sampai jasa transaksi keuangan. Yang perlu diperhatikan adalah produk dan jasa yang dihitung disini adalah berdasarkan produk dan jasa yang dikenai pajak, jadi kalau jasa naik becak nga masuk disini karena nga kena pajak (PPN).

Dengan menghitung total penjualan barang & jasa maka akan ketahuan total kemampuan belanja seluruh warga negara, dengan mengetahui total kemampuan belanja maka akan ketahuan pendapatan tiap warga negara, dengan cara membagi total penjualan barang dan jasa dibagi jumlah warga negara maka akan didapat GDP per kapita warga negara.

Terus dimana permasalahan dari kabar bahwa Indonesia sudah ber GDP USD3000?? Satu hal yang tidak pernah terbuka dalam setiap survey tentang GDP ataupun GDP per kapita di Indonesia adalah gradasi kesenjangan ekonomi antara yang ber-GDP USD30.000 atau bahkan USD100.000 dengan yang ber GDP Cuma USD700 atau bahkan kurang. Hukum Pareto 20-80 untuk tingkat pendapatan/kemampuan belanja di Indonesia tetaplah berlaku. Yaitu pendapatan/kemampuan belanja 20% warga negara Indonesia meng-upgrade pendapatan/kemampuan belanja 80% warga negara Indonesia, jurang atau gradasinyapun terlalu tinggi.

Sebagai contoh sederhana, jika anda karyawan, silahkan hitung di tempat anda bekerja, jumlah krekan anda yang bergaji di atas 5 juta (supervisor) dengan yang dibawah 5 juta atau bahkan hanya bergaji level UMR 1,1 juta dan kemudian buat perbandingan dalam prosentase atau jika anda pengusaha hitung jumlah karyawan anda yang ber GDP USD3000 bandingkan dengan yang dibawah angka tersebut, maka hukum pareto tersebut di atas akan berlaku, bahkan bisa jadi lebih parah. Jadi sebenarnya orang Indonesia yang ber GDP kurang dari USD3000 lebih banyak dari pada yang ber GDP diatas USD3000.

Optimisme Indonesia akan segera mengikuti jejak China dan Korea Selatan setelah mencapai GDPUSD3000, dalam hemat saya pribadi dapat saja tercapai, hanya saja perlu perbaikan di banyak bidang. Salah satunya adalah dengan menciptakan pemerataan pendapatan yang lebih luas, sehingga GDP USD3000 benar-benar dinikmati oleh seluruh warga negara tanpa ada gradasi. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan melindungi dan memajukan ekonomi kerakyatan bukan model konglomerasi dan liberalisme seperti sekarang ini. Indonesia bahkan ditengaraisudah liberal jika dibandingkan Amerika sekalipun. Amerika masih memproteksi petani gandumnya, bagaimana dengan kita?? Petani yang menanam padi yang merupakan kebutuhan pokok saja diperlukukan secara buruk, pupuk yang mahal dan langka sampai hasil panen yang tidak terbeli dengan harga layak. Lihatlah China yang mampu melindungi usaha skala kecilnya hingga mampu melakukan ekspor kemana-mana, dari mulai elektronik, HP, sampai sepeda motor dan mobil.

Dengan memajukan ekonomi kerakyatan, maka akan menambah pendapatan bagi rakyat sekaligus menambah daya beli masyarakat. Dengan menambah daya beli maka perhitungan GDP akan menjadi lebih realistis, karena yang terlibat dalam pembelian barang hasil produksi di negara ini lebih banyak, sehingga tiidak ada lagi cerita pendapatan 20% warga negara mengupgrade pendapatan 80% sisanya.

Anda ingin berpartisipasi dalam membuat GDP USD3000 lebih realistis secara perhitungan?? Gampang caranya.. naikan gaji karyawan anda sehingga mencapai GDP USD3000 he... he.. jangan melulu berpatokan pada UMR saja.