Selasa, 15 Desember 2009

Making The Giant Leap

Entah mengapa saya diundang oleh panitia launching buku dari Stanley Atmadja, Founder dan CEO Adira Finance. Kebetulan sekali, dan kalau boleh saya sebut ini adalah berlakunya the law of attraction. Sudah lama saya mengamati sosok ini. Terakhir namanya muncul dalam daftar The Great Marketer versi majalah Marketing. Makin penasaran saya. Tapi sumber tulisan mengenainya masih sedikit. Ternyata, orang sukses seperti beliau juga butuh untuk meninggalkan legacy. Ia pun menuliskan pengalamannya merintis dan membesarkan Adira yang kabarnya sekarang sudah menempati posisi teratas di bisnis leasing. Buku berjudul Making The Giant Leap, nampaknya sangat tepat, mengingat yang telah dicapai oleh Adira memang seperti itu. Dari tahun 1996 sampai 2008, besar aset kredit yang dikelola tumbuh hamper 100 kali mencapai total hampir Rp. 17 triliun, dengan perolehan laba bersih yang meningkat hampir 500 kali menjadi lebih dari Rp. 1 triliun di tahun 2008. Bahkan dalam kurun waktu 1998 sampai 2002, pertumbuhannya mencapai 1.700%! Hebatnya lagi, pertumbuhan itu tidak terjadi sekali saja, tapi berkali-kali secara konsisten. Artinya pertumbuhan itu sustainable. Pertanyaannya adalah tentu: bagaimana cara melakukanya? Ini pasti bikin penasaran khalayak. Jawabannya ada di buku ini. "Buku ini bukanlah berisi teori, tapi praktek-praktek yang diteorikan", ujar Pak Stanley membuka pembicaraannya. Buku ini lahir dari flashback perjalanan Adira Finance selama hampir 20 tahun. Sebagai perusahaan leasing yang katanya tidak ada aset apa pun kecuali "manusia", tentu fokus utama perusahaan adalah bagaimana menggunakan human capital ini sebagai leverage bisnis utama. Memang diakui juga bahwa strategi bisnis yang jitu, struktur organisasi, sistim-sistim, dan tools manajemen memegang peranan penting, namun di atas semua itu, oranglah sumber kinerja yang mengesankan itu. Berdasarkan "praktek yang diteorikan" ini, Pak Stanley memaparkan "teorinya" membangun dan membesarkan Adira Finance Pak Stanley memperkenalkan istilah organisasi baru yaitu Giant-Leap Organization (GLO), yaitu organisasi yang mampu mencapai lompatan kinerja yang konsisten dan sustainable dalam kurun waktu lama. Hal ini bisa diwujudkan jika pengelolaan organisasi tersebut berpusat pada kekuatan sumber daya manusia. Di dalam GLO, melalui sistim kokoh yang berbasis pada pengembangan potensi SDM, maka "orang-orang biasa" akan menjadi "orang-orang luar biasa". Melalui iklim kerja yang diciptakan, budaya perusahaan yang dipraktekkan, pola kerja yang berfokus pada tim, maka potensi SDM yang biasa-biasa saja akan mampu dioptimalkan menjadi kekuatan luar biasa. Berikut ini adalah model Giant Leap Organization yang ditawarkan oleh Pak Stanley: *1. Leader-Driven Enterprise*. Collective leader adalah "jantung" terwujudnya GLO. Mereka tidak hanya tersebar di jajaran puncak, melainkan di seluruh tingkatan organisasi. Tugas hakiki dari sebuah organisasi adalah menjadi "pabrik pemimpin". Dan tugas seorang pemimpin di GLO adalah menciptakan sebanyak mungkin pemimpin lain di seluruh bagian organisasi. *2. Managing by Values.* Lasting company is values-based company. Elemen values ini adalah nilai-nilai budaya yang dipegang teguh dan diyakini oleh semua karyawan dan teraplikasi dalam perilaku kolektif mereka, mencakup level IQ, EQ dan SQ. Bahkan di Adira, karyawan yang beragama Islam diwajibkan ikut pelatihan ESQ. *3. The Power of Team Sinergy*. GLO bukanlah organisasi yang piawai menciptakan "superman", tapi "super team". Esensinya adalah bagaimana menciptakan team synergy, sehingga menghasilkan output yang lebih besar ketimpang pencapaian pribadi-pribadi. Sinergi itu terwujud melalui result oriented goal, team chemistry, syncronized collaboration, team empowerment dan team recognition. *4. People-Focused Execution*. Di dalam GLO, eksekusi menempati posisi sentral selain strategi. Fokus kepada eksekusi harus menjadi nilai dasar, kebiasaan, dan disiplin yang harus dikembangkan secara konsisten dari waktu ke waktu. Eksekusi harus menjadi menjadi pekerjaan langsung pemimpin di semua level organisasi. *5. Winning Spirit*. Sebuah GLO harus memiliki orang-orang dengan spirit untuk menjadi pemenang. Organisasi harus menciptakan kondisi yang dibutuhkan untuk menanamkan mindset "play to win", yang mencakup keberanian mengeksplorasi hal baru, melakukan umpan balik yang jujur, dan keterbukaan. Empat sikap yang harus dikembangkan adalah: dream big think big, good is not enough, sky is the limit, healthy environment. *6. Human Emphaty*. GLO sangat concern membangun human emphaty dengan cara memfasilitasi terwujudnya kehidupan yang seimbang dari setiap karyawannya, mencakup family life, professional life, social life dan spiritual life, sehingga karyawan menemukan meaning of life. Peran perusahaan menjadi "holistic company". A sustainable company is a holistic company. Luar biasa sekali buku ini. Sikap saya terhadap teori-teori Pak Stanley adalah: no question. Karena dia telah mempraktekkan semua yang dituliskan ini. He walked the talks. Dia bukan pengamat atau teoritikus. Beruntung sekali saya bisa hadir dan dihadiahi buku seperti ini di penghujung tahun ini. Ini menjadi bekal saya untuk melangkah dan berbuat lebih baik lagi buat organisasi. Ada satu hal yang saya suka dari pertumbuhan bisnis Pak Stanley. Bahwa di 5-8 tahun pertama, pertumbuhan Adira sangat landai. Baru setelah lewat 10 tahun pertumbuhannya menjadi eksponensial. Ternyata, 5 tahun pertama adalah masanya untuk membangun pondasi, memperkuat internal guna menyambut datangnya pertumbuhan eksponensial. Dan itu terbukti. Ini seperti filosofi pohon bambu. Bertahun-tahun pertumbuhannya stagnan, padahal sebenarnya itu adalah masa memperkuat pondasi. Pohon bambu akarnya sangat kuat dan saling terkait. Tidak pernah kita dengar ada pohon bambu yang tumbang diterpa angina kencang. Dari tulisan Rony Yuzirman di milis TDA, Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Senin, 07 Desember 2009

HUUUUUUU................

Dalam sebuah essay-nya Muhammad Sobary bercerita tentang Sunan Kalijogo. Saat beliau sedang berjalan-jalan untuk berda'wah beliau melihat seekor ular sedang mengincar seekor katak, tiba-tiba ular tersebut menelan katak tersebut. Sebelum seluruh tubuh katak tersebut masuk ketubuh ular, Sunan Kalijogo berteriak "Huuuuu…" ular kaget dan kemudian secara spontan ular tersebut mengeluarkan katak tersebut dari mulutnya dan lari. Katak itupun merasa senang dan kemudian lari. Lalu ular tersebut mengadu kepada Nabi Sulaiman "kenapa Ia tidak boleh memakan katak tersebut, padahal sesuai kodrat alam, katak memang salah satu makanan baginya". Lalu Nabi Sulaiman menegur Sunan Kalijogo, mengapa Ia melarang ular tsb memakan katak. Sunan Kalijogo lalu berkata bahwa ular tersebut telah salah tanggap sasmito terhadap teriakkanya. Yang Ia maksud dengan Huuuuuuuuuu…… tersebut adalah "huuuuuuuntalen" (ditelan), bukan "huuuuuuuuncalno" (keluarkan) . Kondisi bangsa kita saat ini jika dicermati mempunyai kemiripan dengan cerita antara ular dan Sunan Kalijogo tersebut diatas. Banyak orang yang salah tanggap terhadap sesuatu keadaan ataupun niat orang lain. Sering orang mengkomentari atau menilai ucapan seseorang tanpa melihat substansi, tujuan ataupun apa yang menjadi dasar orang tersebut ngomong. Kita malas untuk melakukan cros cek terhadap laporan ataupun omongan yang masuk ke dalam alam pikiran kita. Apalagi jika omongan tersebut menyinggung tentang dirinya terutama jika menyangkut sesuatu yang jelek, yang dapat menghancurkan image atau pencitraan dirinya. Ia pasti langsung mencak-mencak tidak perduli omongan tersebut benar atau salah. Ironisnya penyakit ini banyak menghinggapi pemimpin bangsa kita, dari mulai yang tertinggi sampai yang dibawahnya. Padahal seorang pemimpin atau pejabat harusnya menjadi panutan bagi rakyat atau bawahannya. Setiap omonganya harus mencerminkan kematangan dan kualitas pribadi serta keilmuannya. Mampu mencerna mana yang perlu untuk diomongkan dan mana yang cukup disimpan agar tidak menimbulkan keresahan. Setiap omongan seorang pemimpin atau pejabat harus diiringi dengan fakta-fakta yang kuat, bukan cuma retorika memutar-mutar saja, yang ternyata di belakang hari tidak pernah dapat dibuktikannya. Seorang pemimpin harus dapat dan mau bersikap bijaksana. Setiap omongan tentang diri kita pasti ada manfaatnya. Kritikan misalnya akan bermanfaat untuk memperbaiki kekurangan kita ataupun kebodohan yang pernah kita lakukan. Pujian juga harus kita persepsikan sebagai tantangan bagi kita, untuk dapat membuktikan bahwa kita memang pantas untuk dipuji seperti itu. Omongan yang bersifat rumpian pun tidak perlu kita tanggapi secara serius, tapi cukup berguna, minimal membantu kita menilai seseorang itu seperti apa. Jika hal-hal tersebut kita abaikan maka dapat dipastikan kita akan terkena makian huuuuuuuuuuuuuuuuu…………… dari masyarakat banyak.