Penetapan Tersangka dilakukan dalam proses penyidikan. Sebagaimana kami sampaikan dalam tulisan terdahulu, proses penyidikan tujuannya adalah untuk mencari alat bukti atas tindak pidana yang terjadi serta menemukan siapa pelaku dari tindak pidana tersebut.
Dalam hal Penyidik sudah menemukan minimal 2 alat bukti yang cukup menurut hukum, serta sudah menemukan siapa pelaku dari tindak pidana tersebut, maka Penyidik dapat menetapkan pelaku tersebut sebagai tersangka.
Dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan yang dimaksud dengan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :
1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
Penetapan status Tersangka bagi seseorang harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan atau kepada keluarga yang bersangkutan oleh Penyidik.
Dalam hal penetapan Tersangka tidak mengikuti prosedur yang berlaku atau terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Penyidik dalam proses penetapan Tersangka, maka penetapan status tersangka tersebut dapat dilakukan upaya hukum melalui Pra-Peradilan di Pengadilan Negeri tempat Kantor Penyidik berdomisili. Penetapan status tersangka sebagai objek pra-peradilan sendiri, dibuka setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang menambahkan Penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan selain yang diatur dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP